Setelah membersihkan kedua tangannya dari tanah tanah pemakaman pendahulunya, Sulaiman bin Abdul Malik, Amirul Mukminin, Khalifah ke lima Umar bin Abdul Aziz segera melihat kembali nama para gubernur di wilayahnya untuk melakukan pencopotan dan pengangkatan.
"Al-Ghafiqi adalah potret kebenaran bagi Musa bin Nushair, dan Thariq bin Ziyad pada ketinggian cita dan kemuliaan tujuan."(sejarawan)
Sosok pertama yang ia angkat sebagai pembantunya adalah as-Samh bin Malik al-Khaulani, untuk diamanahi memimpin wilayah Andalus dan sekitarnya yang terdiri dari kota-kota terbuka negeri Prancis.
Gubernur al-Khaulani yang baru diangkat itu kemudian melakukan perjalanan
untuk mencari orang-orang tepat yang dapat membantunya dalam kejujuran dan
kebaikan. Ia lalu berkata kepada orang-orang yang ada di sekitarnya:
"Masih adakah yang tersisa di negeri ini seseorang dari kalangan
Tabi'in?"
Mereka menjawab:
"Masih ada. Di tengah kami ada seorang tabi'I yang mulia, dia adalah
Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqi." Mereka lalu menyebutkan ilmunya
terhadap Kitabullah, pemahamannya yang dalam pada Hadits Rasulullah saw.,
pengalamannya di medan jihad, kerinduannya untuk menggapai mati syahid, dan
zuhudnya pada kemewahan dunia."
Mereka juga berkata, "Dia bertemu dengan sahabat yang mulia
Abdurrahman bin Umar bin al-Khaththab ra., dan mengambil darinya ilmunya yang
luas dan meneladaninya semaksimal mungkin."
As-Samh bin Malik al-Khaulani lalu memanggil Abdurrahman al-Ghafiqi untuk
bertemu. Ketika al-Gahfiqi datang, ia pun menyambutnya dengan hangat,
mempersilahkannya duduk di dekatnya, lalu bertanya padanya segala sesuatu yang
melintas dalam benaknya disepanjang siang hari itu. Meminta saran dan
nasehatnya pada masalah-masalah berat yang ia hadapi, menghormati dan
menghargainya, agar ia dapat berdiri di atas kemampuan yang dimilikinya.
Ternyata apa yang ia lihat dan ketahui tentang dirinya secara langsung jauh
lebih besar daripada apa yang ia dengar dari orang lain. Ia lalu menawarkan
padanya sebuah pekerjaan besar di Andalus. Mendengar tawaran itu, al-Ghafiqi
berkata:
"Tuan gubernur, sebenarnya saya berasal dari kalangan orang
kebanyakan. Dan sesungguhnya negeri ini dikuasakan kepadaku agar saya menjadi
pelaksana batasan-batasan antara kaum Muslimin dan musuh-musuh mereka. Yang
ingin saya raih hanya redha Allah Azza wa Jalla semata, dan menghunus
pedang ini untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi. Insya Allah, engkau
akan menemukanku selalu bersamamu ketika berada di atas jalan kebenaran. Senatiasa
patuh pada perintahmu selama engkau patuh dan taat kepada Allah Ta'ala dan
Rasul-Nya, sekali pun tanpa kekuasaan dan pemerintahan."
Tidak lama berselang, as-Samh bin Malik al-Khaulani berencana untuk
menaklukan Prancis secara keseluruhan, dan menjadikannya sebagai bagian dari
wilayah negeri Islam yang besar, sekaligus menjadikan negeri tersebut sebagai
pintu masuk ke negara Balkan[1]. Dan memasukkan negara-negara Balkan
ke dalam negara Konstantin, sebagai realisasi dari berita gembira yang pernah
disampaikan Rasulullah saw.[2]
Maka langkah pertama yang harus dilakukan untuk merealisasikan tujuan besar
itu tergantung pada kemampuan pasukan tersebut menguasai kota Narbonne sebagai
kota terbesar yang berdampingan langsung dengan Andalus. Setiap kali kaum
Muslimin turun dari gunung Pyreness untuk menaklukkan kota itu, mereka
mendapatinya tetap berdiri kokoh di hadapan mereka laksana benteng kokoh yang
tak dapat ditaklukkan. Padahal negeri ini adalah kunci utama untuk menundukkan
Prancis, dan jalan bagi setiap orang yang ingin menaklukkannya.
As-Samh bin Malik al-Khaolani akhirnya mengepung kota Narbonne dan
menawarkan kepada penduduknya untuk masuk Islam atau membayar jizyah. Namun
mereka bersikap angkuh dan menolak tawaran itu.
Ia pun segera menyerang kota tersebut dan menghujaninya dengan manjanik[3] sehingga kota
indah yang kokoh itu pun jatuh di tangan kaum Muslimin setelah melalui
pertempuran sengit yang tidak pernah terjadi sebelumnya di benua Eropa dan
berlangsung selama 4 pekan.
Pemimpin pemberani yang berhasil meraih kemenangan gemilang itu bersama
pasukannya lalu menuju kota Touluz, ibukota Oktania dan menghujani kota
tersebut dari berbagai penjuru dengan manjanik, dan dengan berbagai peralatan
militer yang tidak pernah diketahui oleh Eropa pada masa itu. Sehingga kota
tersebut nyaris takluk di hadapannya. Hingga sesuatu yang tidak pernah terbetik
dalam benak seorang pun terjadi dalam peperangan itu.
Kita akan memberi kesempatan kepada seorang orientalis Prancis, Reno untuk
menceritakan kepada kita jalannya peperangan tersebut:
Ketika kemenangan yang dinantikan semakin dekat di hadapan mata kaum
Muslimin, Duke Oktania segera meminta bala bantuan dari negara-negara Eropa. Ia
juga mengirim utusan-utusannya untuk berkeliling ke negara-negara Eropa dari
ujung ke ujung. Mereka mengingatkan para raja dan penguasa bahwa negeri mereka
akan segara dikuasai kaum Muslimin; perempuan dan anak-anak mereka akan
disembelih oleh mereka. Propaganda itu akhirnya disambut masyarakat Eropa
sehingga mereka bergabung dengan pasukan tersebut dalam jumlah sangat besar.
Besarnya jumlah pasukan Eropa ketika itu, ditambah dengan kekuatan dan
kebengisan mereka adalah sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Bahkan
debu yang beterbangan dari bawah tapak kaki mereka telah menutupi wilayah Rhone[4] dari sinar
matahari.
Saat dua pasukan besar ini bertemu, para prajurit yang terlibat dalam
peperangan itu seakan menyaksikan dua gunung yang saling berhadapan. Dan
pertempuran dahsyat yang tidak pernah terjadi dalam sejarah manusia sebelumnya
pun pecah.
Adapun as-Samh, atau yang juga dikenal dengan nama Dzama, seakan selalu
tampak berada di depan pasukannya, berpindah dari satu tempat ke tempat yang
lain. Pada saat itu, tiba-tiba sebuah tombak meluncur deras menembus tubuhnya,
membuatnya jatuh dari atas kudanya. Ketika pasukan Muslimin menyaksikan
pimpinan mereka jatuh tergeletak di atas tanah, kekuatan dan semangat perang
mereka pun melemah, dan perlahan-lahan kekuatan besar itu cerai-berai.
Situasi tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh pasukan musuh, sehingga
pasukan kaum Muslimin nyaris saja mengalami kehancuran dan kebinasaan. Andai
bukan karena pertolongan Allah yang Ia turunkan kepada mereka melalui seorang
pimpinan perang ulung yang juga dikenal di daratan Eropa bernama Abdurrahman
al-Ghafiqi.
Al-Ghafiqi segera mengambil alih kendali pasukan dengan membawa mereka
kembali ke Spanyol, sehingga kerugian besar yang diderita dari kekalahan
tersebut dapat diminimalisir. Namun ia bertekad kuat untuk merebut kembali
kemenangan itu dari tangan musuh-musuhnya.
Apakah Anda telah menyaksikan kala bulan purnama menyingkap mendung di
kegelapan malam, hingga cahayanya menyinari mereka yang kehilangan arah dan
menunjuki jalan terang bagi orang-orang yang kebingungan?
Demikianlah akhirnya, medan perang Touloz ditinggalkan oleh pahlawan Islam
pemberani; Abdurrahman al-Ghaafiqi.
Apakah Anda menyaksikan orang-orang kehausan yang nyaris menemui
kematiannya di atas padang pasir nan gersang, bagaimana mereka merintih meminta
air untuk membasahi kerongkongan mereka yang kering? Sehingga tangan-tangan
mereka pun terulur agar seteguk air itu dapat mengembalikan kehidupan mereka?
Seperti itulah kondisi pasukan Muslimin ketika itu. Mereka seakan
mengulurkan tangan-tangan mereka kepada pemimpin besar itu mengharap keselamatan,
dan membaiatnya untuk senantiasa patuh dan taatnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perang Touloz adalah luka pertama yang begitu
dalam mengenai kaum Muslimin sejak mereka menapakkan kaki di benua Eropa, dan
Abdurrahman al-Ghafiqi adalah obat bagi luka itu; tangan penuh kasih yang
diliputi pertolongan dan perlindungan Ilahi, dan jiwa yang besar yang memenuhi
hati-hati mereka.
Berita kekalahan besar yang diderita kaum Muslimin di Prancis membakar jiwa
Khalifah kaum Muslimin di Damaskus. Kematian pimpinan dan pahlawan mereka,
as-Samh bin Malik al-Khaolani mengobarkan api yang membara dalam jiwa dan
mendorong mereka untuk segera menebus kekalahan itu.
Khalifah lalu mengeluarkan instruksi agar seluruh pasukan membaiat
Abdurrahman al-Ghafiqi sekaligus menyerahkan padanya pemerintahan seluruh
wilayah Andalus, termasuk beberapa wilayah Prancis yang sudah ditaklukkan, dan
memberinya keleluasaan untuk melakkan apa saja yang ia inginkan.
Bukan sesuatu yang aneh bila Khalifah mengangkat al-Ghafiqi sebagai
gubernur menggantikan pendahulunya, karena ia adalah sosok yang bijaksana,
tegas, takwa, bersih, adil dan pemberani.
Sejak awal dikuasakannya wilayah Andalus kepada al-Ghafiqi, ia memulai
langkah strateginya dengan mengembalikan kepercayaan diri pasukan, membangkitkan
kebanggaan mereka sebagai Muslim, kekuatan, kemuliaan dan kemenangan, dan
berusaha merealisasikan tujuan besar yang sejak dahulu ingin diraih oleh para
pemimpin Islam, dimulai dari Musa bin Nushair[5], dan yang terakhir adalah as-Samh
bin Malik al-Khaulani.
Para pemimpin Islam itu bertekad kuat untuk bertolak dari Prancis ke Italia
dan Jerman, dan dari sana mereka berangkat menuju Konstantinopel, serta
menjadikan laut putih tengah sebagai laut Islam dan menamakannya laut Syam
sebagai ganti dari laut Rum.
Tapi Abdurrahman al-Ghafiqi tahu bahwa persiapan menghadapi peperangan
besar itu diawali dengan melakukan pembersihan dan pensucian jiwa. Ia juga
yakin bahwa tak satu umat pun yang mampu meraih tujuannya menggapai kemenangan
bila benteng kekuatan mereka lemah dan runtuh dari dalam.
Karena itu, ia segera berkeliling di seantero Andalus, dan memerintahkan
seseorang berseru di tengah manusia, "Barang siapa yang hartanya pernah
diambil secara aniaya oleh penguasa, atau hakim atau seseorang, maka hendaklah
ia melaporkannya kepada gubernur. Dan tidak ada perbedaan antara sesama muslim dan
selainnya yang di antara mereka ada kesepakatan.
Ia lalu memeriksa laporan tersebut satu persatu, sehingga dia dapat
memberikan hak yang lemah dari yang kuat, dan untuk orang yang teraniaya dari
yang menganiaya. Ia juga mempelajari kasus beberapa gereja yang diambil secara
paksa, agar ia dapat mengembalikan apa yang telah disepakati dari perjanjian
tersebut kepada pemiliknya, dan menghancurkan apa yang dibangun dari uang suap.
Ia juga mempelajari berbagai permasalahan terkait dengan pegawainya satu
persatu, dan mencopot siapa saja di antara mereka yang melakukan pengkhianatan
dan penyimpangan serta menggantikannya dengan sosok orang yang dapat dipercaya
dengan kebaikan, kebijaksanaan dan pengalamannya. Ketika ia memasuki sebuah
negeri, maka ia menyeru masyarakatnya agar turut melaksanakan shalat Jum'at. Di
hadapan mereka ia menyampaikan khotbah seraya memotivasi mereka untuk berjihad
di jalan Allah Ta'ala, menggembirakannya dengan mati syahid, mencitakan
mereka dengan redha Allah dan kebahagiaan dengan ganjaran pahala-Nya.
Abdurrahman al-Ghafiqi senantiasa melakukan apa yang diucapkannya,
menguatkan cita-cita yang ingin diraihnya dengan kerja keras. Kerja pertama
yang ia lakukan sejak kekuasaan itu berada padanya ialah mengumpulkan bekal
peperangan dan persenjataan militer, merenovasi dan membangun benteng
pertahanan, membangun dan mengokohkan jembatan yang sudah ada.
Karya terbesar yang ia lakukan adalah membangun jembatan Qurthubah ibukota
Andalus. Membentang di atas sungai Qurthubah agar dapat dilalui seluruh manusia
dan pasukan, sekaligus melindungi negeri dan penduduk dari bencana banjir.
Jembatan ini termasuk salah satu keajaiban dunia yang panjangnya sekitar 800
depa, tinggi 60 depa, dan luasnya 20 depa. Ia memiliki 18 tikungannya, 19
menara yang sampai sekarang masih tegak berdiri sebagai salah satu daya tarik
negara Spanyol.
Abdurrahman Al-Ghafiqi selalu melakukan pertemuan dengan para pemimpin
pasukan dan para tokoh masyarakat di setiap negeri yang ia datangi. Ia diam
mendengar apa yang mereka katakan, mencatat setiap usulan yang diajukan
kepadanya dan berusaha memanfaatkan dari setiap nasehat dan saran yang mereka
ajukan kepadanya. Dalam banyak pertemuan yang dilakukannya, ia lebih banyak
mendengar dan hanya sedikit berbicara.
Al-Ghafiqi juga melakukan pertemuan dengan para tokoh kaum Muslimin dan
ahlu Dzimmah. Ia juga banyak bertanya tentang berbagai masalah yang mereka
pendam terkait dengan negeri mereka, raja dan pemimpin mereka.
Suatu ketika ia memanggil salah satu tokoh ahlu Dzimmah dari keturunan
Prancis dan berbicara dengannya tentang beberapa hal. Ia berkata:
"Ada apa gerangan yang menimpa raja kalian, Syarel sehingga ia tidak
keluar memerangi kami dan tidak menolong raja-raja memutuskan hubungannya
dengan kami?"
"Wahai tuan gubernur. Kalian telah memenuhi apa yang kalian janjikan
kepada kami selama ini, maka adalah hak kalian dan kewajiban kami untuk berkata
jujur terhadap apa yang kalian tanyakan kepada kami. Ketahuilah bahwa
sesungguhnya pemimpin kalian, Musa bin Nushair telah berkuasa dengan baik atas
seluruh wilayah Spanyol, lalu bertekad untuk menaklukkan gunung Barniyah yang
memisahkan Andalus dan negeri kami yang indah.
Seluruh raja-raja yang telah memutuskan hubungan itu bersama para pendeta
lalu mendatangi raja tertinggi kami lalu berkata kepadanya, "Kehinaan
apakah yang menimpa kami dan anak cucu kami di sepanjang masa ini, wahai raja?
Kami telah mendengar tentang kaum Muslimin dan kami takut pada serangan mereka
terhadap kami yang datang dari arah timur. Dan kini mereka datang kepada kami
dari arah Barat. Mereka telah menguasai Spanyol dan seluruh kekayaan yang ada
di dalamnya. Mereka juga telah menaklukkan pegunungan yang memisahkan kami
dengan mereka, walau jumlah mereka sangat sedikit dan perlengkapan perang
mereka begitu sederhana. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki perisai yang
dapat melindunginya dari tebasan pedang, atau kuda tunggangan yang membuatnya
berkelebat di seluruh medang perang."
Raja lalu berkata kepada mereka:
"Sebenaranya saya sudah sering memikirkan apa selama ini melintas
dalam benak kalian dan berusaha mendalaminya. Saya berfikir bahwa kita tidak
perlu menghadapi serangan mereka secara terbuka. Karena mereka laksana
gelombang dahsyat yang siap menelan segala yang menghadang perjalanannya lalu
membawanya bersamanya untuk ia hempaskan sesuka hatinya.
Saya menemukan bahwa mereka kuat dan kokoh dengan akidah dan niat mereka;
lebih dari cukup sebagai bekal menghadapi peperangan. Mereka memiliki iman dan
kejujuran yang menggantikan peran perisai dan kuda perang.
Tapi biarkanlah mereka sejenak hingga tangan-tangan mereka penuh dengan
ghanimah. Dengan harta rampasan itu mereka membangun rumah dan istana,
memperbanyak sahaya dan pelayan, dan berlomba-lomba tampil sebagai pemimpin.
Saat itulah kalian akan mudah mengalahkan mereka tanpa kerja keras.
Abdurrahman al-Ghafiqi hanya menggelengkan kepalanya sedih mendengar
penuturan tersebut. Sambil mengambil nafas panjang ia bangkit hendak
meninggalkan majelis lalu berkata:
"Mari kita bersiap untuk shalat, waktunya sudah dekat!"
Selama dua tahun lamanya, al-Ghafiqi menyiapkan pasukannya dan
perbekalan untuk menghadapi perang
besar. Ia pun memobilisasi prajurit dan pasukannya, mengokohkan tekad dan menguatkan
hati. Ia juga meminta bala bantuan kepada gubernur Afrika yang segera mengirim
pasukan yang bergerak rindu menuju medan jihad, dan jiwa mereka yang bergelora
menjemput kematian.
Ia lalu menulis surat kepada Utsman bin Abu Nus'ah, agar mulai 'menyibbukan'
musuh dengan menyerang mereka, sehingga ia selesai mempersiapkan pasukan besar
untuk menghancurkan mereka.
Tapi Usman bin Abu Nus'ah adalah seorang pemimpin yang selalu iri dan
dendam kepada setiap gubernur yang memiliki cita-cita mulia dan obsesi tinggi;
ia hanya ingin agar hanya ia seorang yang mempersembahkan karya besar yang
dapat mengangkat namanya di jagat raya, menjatuhkan pemimpin dan penguasa yang
lain. Di tambah lagi bahwa salah satu serangannya dahulu terhadap Prancis
membuatnya mendapatkan putri raja -Duke Oktania bernama Myinein yang sedang
memasuki usia muda dan dikenal dengan kecantikannya. Menyatu dalam dirinya
antara kecantikan dan kemuliaan sebagai keturunan raja, antara daya tarik
seorang wanita muda dan kemanjaan putri kerajaan.
Inilah yang membuat hati Abu Nus'ah diliputi cinta yang memenuhi seluruh
jiwanya, serta menempatkannya pada tempat tempat terhormat di sisinya. Putri
raja ini berhail mempengaruhi Abu Nus'ah agar ia berdamai dengan ayahnya. Ia
pun melakukan kesepakatan dengan memberinya jaminan keamanan dari serangan kaum
Muslimin atas pemutusan hubungan yang ia lakukan terhadap wilayah Andalus.
Maka ketika perintah Abdurrahman al-Ghafiqi datang kepadanya agar menyerang
negeri mertuanya 'Duke Oktania', ia pun kebingungan, tak tahu apa yang harus
dilakukannya. Namun tak lama kemudian ia menulis surat kepada al-Ghafiqi
memintanya mengevaluasi kembali apa yang ia perintahkan itu. Dalam surat
tersebut ia menyatakan tidak sanggup membatalkan perjanjian dengan Duke Oktania
sebelum masa perjanjian itu berakhir.
Isi surat itu membuat Abdurrahman al-Ghafiqi murka padanya. Ia lalu
membalas surat tersebut dengan mengatakan:
"Sesungguhnya perjanjian yang engkau telah putuskan dengan Prancis
tidak membawa konsekwensi apapun terhadap gubernurmu, juga terhadap kaum
Muslimin. Karena itu, engkau harus segera melaksanakan apa yang telah saya
perintahkan kepadamu, tanpa ragu dan menundanya."
Ketika Ibnu Abi Nus'ah mulai putus asa dari upaya menghentikan tekad dan
keinginan sang gubernur. Ia lalu mengirim utusan kepada mertuanya untuk memberitahukan situasi yang sekarang terjadi,
dan menyarankannya agar segera bersiap-siap menanti kedatangan musuh yang akan
menyerang mereka.
Tapi mata-mata Abdurrahman al-Gahfiqi mengetahui setiap gerakan yang dilakukan
Abu Nus'ah, yang segera menyampaikan berita adanya hubungan antara Abu Nus'ah
dengan musuh.
Al-Ghafiqi segera menyiapkan pasukan batalion pilihannya dari kalangan
prajurit terlatih, memiliki kekuatan, kemampun dan keahlian tersendiri. Komandan
batalion itu dipimpin seorang mujahid paling berani dan berpengalaman dari
mereka. Ia lalu diperintahkan membawa Ustman bin Abu Nus'ah kehadapannya dalam
keadaan hidup atau mati.
Batalion itu lalu bergerak cepat mengepung pasukan Ibnu abi Nus'ah. Mereka
hampir saja menangkapnya andai ia tidak segera sadar dan mengetahui kedatangan
batalion yang hendak menangkapnya. Ia lalu berlari ke gunung bersama sejumlah
pengawal kepercayaannya disertai istrinya Minein yang jelita yang tidak pernah
berpisah dengannya sesaat pun, hingga membuatnya tidak mengetahui keindahan
dunia kecuali yang ada pada diri istrinya.
Batalion tersebut bergerak mencari dan berusaha mengepung tempat
persembunyiannya. Tapi Abu Nus'ah melakukan perlawanan sengit, menerjang bagai
singa terluka yang sedang melindungi anak-anaknya. Ia terus melakukan
perlawanan hingga membuatnya jatuh tersungkur tanpa nyawa.
Pada tubuhnya ditemukan luka sayatan pedang dan hantaman tombak yang tak
terhitung jumlahnya. Batalion itu segera menebas batang leher Abu Nus'ah dan membawanya
bersama istrinya yang jelita kehadapan Abdurrahman al-Ghafiqi. Ketika potongan
leher Ibnu Abu Nus'ah tiba dihadapanya dan menyaksikan kecantikan Duke Oktania,
ia segera memejamkan matanya dan berpaling ke tempat lain. Ia lalu mengirim
putri raja Prancis sebagai hadiah ke istana keKhalifahan bani Umayyah di
Damaskus, dan kehidupan putri raja ini pun berakhir di lingkungan istana
Khalifah.
Abdurrahman
al-Ghafiqi
Pahlawan Perang
Bilat asy-Syuhada
"Andai bukan karena kemenangan
Syarel Martel al-Hamji atas kaum Muslimin dan pemimpin mereka, al-Ghafiqi,
niscaya Isbania akan menikmati toleransi Islam, dan sejarah peradaban di Eropa
tidak akan terlambat selama delapan tahun"
(Seorang Sejarawan Prancis)
Seorang penyair Inggris 'Syuzie' menggambarkan pasukan muslim yang
menyerang Eropa setelah penaklukan Andalus dengan kalimat berikut ini:
"Jumlah pasukan yang tidak terhitung
Dari bangsa Arab, Barbar, Romawi, Persia, Qibthi, Tartar dan sebagainya.
Mereka menyatu di bawah panji yang sama; panji Islam.
Mereka disatukan gelora dan kekuatan iman yang bersemayam dalam hati
Fanatisme yang membara bagai percik bunga api, dan persaudaraan menakjubkan
yang tak terpisahkan di antara sesama manusia.
Pemimpin perang mereka juga sangat percaya diri dengan kemenangan yang akan
diraih, setelah mereka reguk kemenangan demi kemenangan.
Mereka bangga dengan kekuatan besar yang tak satu kekuatan pun mampu
berdiri menghadangnya.
Mereka juga yakin bahwa pasukan mereka takkan didera rasa lelah dan letih
Karena mereka adalah kumpulan para pemuda cerdas dengan semangat menggelora
dalam jiwa sebagaimana pasukan ini bergerak pertama kali.
Mereka yakin bahwa kemana pun mereka pergi, kemenangan akan selalu bersama
mereka
Pasukan ini akan terus bergerak ke depan, sehingga Barat dapat dikalahkan
sebagaimana Timur.
Agar kepala mereka tunduk sebagai penghormatan dan kemuliaan untuk Muhammad
Sehingga seorang Muslim dari Kutub Selatan, datang berhaji
Menginjakkan kakinya di atas pasir membara, yang terhampar di atas sahara
nan tandus
Berdiri di atas batu cadas Mekah yang keras."
Ungkapanmu, wahai penyair, tidak jauh dari realitas sesungguhnya. Itu bukan
ungkapan cinta yang tersimpan dalam bejana khayalan sebagaimana yang sering
engkau katakan.
Pasukan yang memimpin para mujahidin untuk mengeluarkan bapak-bapak kalian
dari lembah kejahiliyahan –sebagaimana yang engkau gambarkan- terdiri dari
orang-orang Arab yang menjadi kuat karena Allah. Mereka berasal dari Syam, dari
Hijaz, Nejed, Yaman dan dari berbagai tempat di jazirah Arabia. Sebagaimana
tiupan angin yang datang dari berbagai penjuru.
Di antara pasukan itu ada prajurit Barbar yang menjadi mulia karena Islam;
datang kepada kalian dari puncak pegunungan Athlas[6], sebagaimana
air yang mengalir deras. Juga ada muslim Persia yang benci dan tidak mengakui
penuhanan Kisra[7],
yang percaya kepada agama tauhid serta jalan Allah Yang Maha Perkasa dan Maha
Terpuji.
Di dalam pasukan itu juga terdapat orang Romawi Khawarij, sebagaimana yang
engkau katakan. Tapi mereka telah keluar dari kezaliman dan kegelapan menuju
cahaya Allah yang menerangi langit dan bumi, dan tunduk mengikuti agama yang
lurus.
Juga ada orang-orang Qibthi yang telah melepaskan api persembahan dari
leher mereka untuk Kaisar[8]. Agar mereka
dapat hidup kembali di bawah lindungan Islam; sebagai manusia merdeka seperti
mereka dahulu dilahirkan oleh ibu mereka.
Pasukan yang dipimpin oleh Abdurrahman al-Ghafiqi dan para pendahulunya
untuk menyelamatkan kakek-kakek kalian dari lembah jahiliah berasal dari warna
kulit yang beragam; putih, hitam, arab dan non Arab. Namun mereka semua lebur
dalam sebuah wadah Islam. Dengan curahan nikmat Allah Ta'ala mereka bersaudara.
Tekad dan keinginan mereka –sebagaimana yang telah saya sebutkan- semua hanya
satu; seluruh masyarakat Barat masuk ke dalam agama Islam, sebagaimana
masyarakat Timur.
Mereka ingin agar seluruh manusia hanya menundukkan kepalanya kepada Tuhan
yang Esa; Tuhannya manusia. Dimana cahaya Islam menaungi seluruh lembah dan
tanah air kalian, menyinari rumah kalian dengan kemilau cahayanya, menegakkan
keadilan di antara para penguasa dan rakyatnya. Mereka bertekad kuat untuk
mempersembahkan jiwa-jiwa mereka agar kalian dapatkan petunjuk Allah, dan
kalian selamat dari siksa api neraka.
Sekarang, marilah kita mengikuti penggalan kisah terakhir pasukan besar
ini, dan berita sang pahlawan pemberani, Abdurrahman al-Ghafiqi:
Berita mengejutkan tentang kematian menantunya, Utsman bin Abi Nas'ah
akhirnya terdengar juga di telinga Duke Oktania. Demikian pula berita sedih
tentang akhir perjalanan yang diderita putrinya yang jelita.
Ia pun sadar bahwa genderang perang telah ditabuh, dan singa pahlawan
Islam, Abdurrahman al-Ghafiqi tak lama lagi akan menjangkau rumah miliknya,
pagi atau sore hari. Ia segera bersiaga menghadapi serangan musuh dan membela
mati-matian setiap jengkal tanah miliknya. Ia juga sudah bersiap-siaga berjuang
untuk mempertahankan diri dan kerajaannya.
Walau demikian, dalam dirinya juga muncul rasa takut, jangan sampai ia yang
akhirnya digiring sebagai tawanan menuju kediaman Khalifah di Syam, sebagaimana
dialami putrinya. Atau hanya penggalan kepalanya berada di atas nampan lalu
diarak di tengah pasar Damaskus, sebagaimana terjadi sebelumnya atas diri
Ludzaric, raja Spanyol.
Abdurrahman al-Ghafiqi sama sekali tidak dapat menyangkal dugaan yang
melintas di kepala Duke Oktania. Ia bersama pasukannya yang besar lalu bergerak
bagai angin puting beliung dari Utara Andalus, dan menerjang bagian Selatan
Prancis dari puncak gunung Barniyah sebagaimana gelombang dahsyat menerjang.
Pasukan yang ia bawa terdiri dari seratus ribu pasukan. Setiap sayap
dipimpin komandan perang berhati singa yang terdiri dari prajurit dengan latar
etnis berbeda-beda yang memiliki tekad kuat untuk meraih kemenangan. Pasukan
Islam itu bergerak menuju arah kota Arles yang terletak di atas pesisir sungai
Rhone disertai pertimbangan berikut ini, bahwa penduduk kota Arles telah
melakukan perdamaian dengan kaum Muslimin dan setuju untuk membaya jizyah.
Ketika as-Samh bin al-Khaolani syahid dalam perang Toulouse[9] sehingga membuat kekuatan kaum
Muslimin menjadi lemah karena kematiannya, penduduk tersebut lalu mulai
membangkang dan membatalkan perjanjian tersebut serta tidak mau membayar
jizyah. Ketika Abdurrahman al-Ghafiqi tiba di pinggiran kota, ternyata ia
menemukan bahwa Duke Oktania telah menyiapkan pasukannya dan mengerahkannya di
pinggiran kota, siap menghadang dan melawan serangan pasukan Islam.
Tak lama berselang, kedua pasukan itu bertemu, sehingga pertempuran dahsyat
tak dapat dielakkan lagi. Pasukan besar dengan prajurit yang lebih mencintai
kematian sebagaimana musuh-musuh mereka mencintai kehidupan. Al-Ghafiqi
berhasil memukul mundur musuhnya, menggoyahkan kekuatan mereka dan
mencerai-beraikan barisannya hingga memasuki kota tersebut. Ia hunuskan
pedangnya di leher musuh-musuhnya dan membunuh mereka dengan kejam. Al-Ghafiqi
juga mendapatkan harta rampasan sangat banyak yang tidak terhitung jumlahnya.
Adapun Duke Oktania, ia berhasil menyelamatkan diri bersama prajuritnya
yang masih hidup untuk menyiapkan pasukan dan perbekalan guna menghadapi
pasukan Islam di lain waktu. Ia tahu bahwa perang Arel adalah awal dari jalan
panjang itu dan bukan akhir dari segalanya.
Bersama pasukannya yang pemberani, al-Ghafiqi menyeberangi sungai Gharone.
Sejumlah batalion dari pasukan tersebut lalu berjalan sambil mengamati
wilayah-wilayah Oktania di kanan dan kiri mereka. Satu persatu kota demi kota
dan desa demi desa jatuh di bawah tapak kaki kudanya. Seakan dedaunan yang
berguguran di musim gugur karena tiupan angin. Dengan kemenangan itu juga,
pasukan Muslimin berhasil mendapatkan harta rampasan tambahan sangat banyak
yang tak pernah seorang pun melihat dan menyaksikan sebelumnya.
Duke Oktania lalu berusaha menghadang serangan besar pasukan Muslimin
sekali lagi, dan kembali bertarung dalam perang Dharus. Namun pasukan Muslimin
mampu mengalahkan dan menghancurkan mereka. Di antara mereka ada yang terbunuh,
tertawan dan lari menyelamatkan diri.
Pasukan Islam lalu bergerak menuju kota Bordeaux, kota terbesar Prancis ketika
itu sekaligus sebagai ibukota wilayah Oktania. Bersama dengan pemimpinnya,
pasukan tersebut mengarungi peperangan yang tidak kalah dahsyat dan serunya
dari perang sebelumnya. Setiap prajurit memperlihatkan heroisme kepahlawanan
mereka yang sangat menakjubkan.
Namun tak lama kemudian, kota terbesar dan terpenting di Prancis itu
akhirnya jatuh di tangan kaum Muslimin seperti yang dialami kota-kota lainnya,
dimana pimpinannya termasuk dalam salah salah satu korban yang terbunuh dalam
peperangan itu.
Kaum Muslimin kembali mendapatkan harta rampasan Bordeux yang mereka anggap
lebih sedikit dari harta rampasan yang pernah mereka peroleh sebelumnya.
Jatuhnya kota Bordeux di tangan kaum Muslimin sekaligus sebagai pintu pembuka
jatuhnya kota-kota yang lain dan strategis di Prancis. Kota terpenting itu
adalah Lyon[10],
Besancon[11]
dan Sens. Kota terakhir ini terletak sekitar 100 mil dari kota Paris.
Jatuhnya setengah dari seluruh wilayah Selatan Prancis di tangan
Abdurrahman al-Ghafiqi selama beberapa bulan membuat Eropa geger. Inggris mulai
membuka mata mereka lebar-lebar atas petaka yang mungkin saja menimpa mereka.
Orang-orang yang meminta pertolongan lalu menyeru mereka yang lemah dan yang
sanggup sekalipun untuk menghadang kekuatan besar yang datang dari Timur. Memotivasi
mereka untuk melakukan perlawanan dengan pedang. Mereka juga menyeru agar
menghalangi jalan yang akan dilalui pasukan muslim bila mereka tidak lagi
memiliki bekal sedikit pun yang dapat digunakan sebagai perintang.
Masyarakat Eropa segera menyambut seruan itu. Mereka lalu bergabung di bawah satu
panji kekuatan yang dipimpin oleh Sharel Martil. Membawa seluruh peralatan
perang yang mereka miliki. Ketika itu pasukan Islam telah mencapai kota Tours
sebagai kota dengan penduduk terbesar dari kota lainnya Prancis, dikenal
sebagai kota kuno yang indah dan menarik dalam sejarah.
Kota ini bahkan memiliki kebanggaan dan keistimewaan tersendiri dari
kota-kota besar lainnya di Eropa dengan gerejanya yang besar, indah dan megah
yang dihiasi dengan peninggalan masa lalu yang mewah dan tak ternilai harganya.
Kaum Muslimin kemudian mengepung kota dari berbagai penjuru, lalu dengan gagah
menerjang ke dalam saat waktu yang tepat itu tiba. Mereka seakan menjual murah
jiwa dan raga mereka demi untuk menaklukkan kota tersebut. Tak lama berselang,
kota itu pun jatuh di tangan kaum Muslimin di saksikan mata kepala Syarel
Martel sendiri.
Pada sepuluh hari terakhir bulan Sya'ban tahun 104 Hijriah, Abdurrahman
al-Ghafiqi bergerak bersama pasukannya yang besar menuju kota Poitiers. Di
wilayah tersebut pasukan Muslimin bertemu dengan pasukan Eropa dalam jumlah
yang sangat banyak di bawah pimpinan Syarel Martel. Kedua pasukan itu
pun betemu dalam sebuah pertempuran terbesar yang tidak hanya pernah terjadi
dalam sejarah Islam dan Prancis saja, tetapi juga dalam sejarah umat manusia.
Perang ini dikenal dengan perang Bilath asy-Syuhada.
Ketika itu, pasukan Islam berada di puncak kejayaan dan kemenangannya yang
gilang gemilang. Namun beban yang mereka pikul semakin berat oleh harta rampasan
yang melimpahi mereka bagai curahan hujan, dan semakian menumpuk di tangan para
prajuritnya. Al-Ghafiqi sendiri melihat harta kekayaan melimpah yang mereka
peroleh itu dengan perasaan cemas, takut dan khawatir bila sesuatu yang tidak
diinginkan terjadi atas kaum Muslimin.
Panglima perang ini tidak dapat menjamin bahwa hati setiap prajuritnya
tidak terganggu dengan harta rampasan yang mereka peroleh ketika peperangan
akan berkecamuk. Atau jiwa mereka terpecah belah saat berada dalam siatuasi dan
kondisi yang sulit. Atau harta itu membuat salah satu dari mata mereka
memandang musuh yang datang menyerang, sementara mata yang lain menatap
ghanimah yang ada pada kedua tangan mereka.
Ia sebenarnya ingin memerintahkan pasukannya agar berlepas diri dari harta
kekayaan yang mereka peroleh itu. Namun ia juga khawatir bila perintah tersebut
tidak menyenangkan hati mereka, dan jiwa mereka tidak rela bila harus
melepaskan diri dari harta kekayaan tersebut. Kenyataan ini membuatnya tidak
memiliki pilihan lain kecuali mengumpulkan seluruh harta kekayaan tersebut di
dalam sebuah tenda khusus yang berada di belakang pasukan sebelum peperangan
dimulai.
Selama beberapa hari kedua pasukan tersebut saling berdiam diri di tempat
mereka masing-masing; saling mengintai dan saling berhadap-hadapan bagai dua
gunung yang tinggi kokoh. Kedua pasukan menampakkan rasa takut terhadap
serangan musuhnya, dan mempertimbangkan seribu kali untuk mengawali peperangan.
Di tengah suasana tak menentu yang semakin lama itu dan Abdurrahman al-Ghafiqi
menemukan gelegak fanatisme dan keberanian yang membakar dada para prajuritnya,
akhirnya ia memilih untuk memulai penyerangan dengan mengandalkan kelebihan dan
keistimewaan setiap prajuritnya, seraya tetap optimis dengan kemenangan yang
bakal ia raih. Dengan kuda perangnya Abdurrahman al-Ghafiqi lalu menerjang
barisan pasukan Prancis bagai singa yang terluka, dan dihadang oleh pasukan
musuh laksana gunung yang tidak goyah sedikit pun oleh terjangan badai.
Pada hari pertama pertempuran berlangsung seimbang dan berakhir tanpa
diketahui siapakah pemenangnya. Tak ada yang memisahkan kedua pasukan selain
karena kegelapan yang mulai menyelimuti medan perang. Pertarungan kembali
dilanjutkan pada hari berikutnya, dan dengan gagah berani pasukan Islam menyerang
pasukan Prancis. Tapi mereka belum berhasil meraih tujuan yang dikehendakinya,
sehingga pertempuran itu pun terus berkecamuk selama tujuh hari berturut-turut.
Pada hari kedelapan, kaum Muslimin akhirnya menyerang musuh mereka dengan
sebuah serangan mematikan, membuat barisan pasukan musuh cerai berai sehingga
kemenangan itu seakan mulai tampak laksana sinar matahari pagi yang mengibas
kegelapan. Dalam situasi demikian, tiba-tiba satu batalion pasukan Prancis menyerang
perkemahan yang dipenuhi dengan harta rampasan milik kaum Muslimin.
Ketika kaum Muslimin menyaksikan harta rampasan mereka akan jatuh di tangan
musuh, sebagian besar dari mereka segera berbalik untuk menyelamatkan harta
tersebut sehingga membuat barisan mereka pecah. Persatuan mereka cerai berai
dan kekuatan mereka pun runtuh. Sang panglima perang itu lalu berusaha untuk
mengembalikan semangat juang pasukannya yang mulai terpukul mundur, menghadang
serangan musuh dan menutup celah kelemahan mereka.
Ketika Abdurrahman al-Ghafiqi sedang mengelilingi medan perang di atas
pelana kudanya yang berwarna kelabu, maju menyerang atau mundur mengatur
strategi. Tiba-tiba sebuah anak panah mengenai tubuhnya. Ia pun jatuh dari
atas kudanya sebagaimana burung elang yang tersungkur jatuh dari puncak gunung.
Panglima perang pemberani itu akhirnya menemui syahidnya di atas medan perang.
Ketika kaum Muslimin menyaksikan panglima perang mereka syahid, rasa takut
dan gentar pun menyergap jiwa mereka. Situasi tersebut membuat pasukan musuh
semakin gigih menyerang, dan mereka tidak menghentikan serangannya kecuali
setelah kegelapan menyelimuti alam.
Pagi keesokan harinya, panglima perang musuh, Syaril Martil menemukan bahwa
kaum Muslimin telah meninggalkan medan perang, walau mereka juga tidak memiliki
keberanian untuk menyerang dan menghalau lebih jauh. Karena andai saja mereka
berani melakukannya, niscaya mereka akan membinasakannya. Kekhawatiran Syarel
Martil dilandasi pada sebuah dugaan bahwa kaum Muslimin hanya mundur untuk
mengatur strategi sebagai salah satu siasat peperangan yang mereka rancang di
malam hari. Sehingga mereka lebih memilih untuk berdiam diri di tempat mereka
merayakan kemenangan besar yang diraihnya.
Perang Bilath asy-Syuhada adalah salah satu peperangan menentukan
dalam sejarah perjuangan Islam. Dimana kaum Muslimin menyia-nyiakan sebuah
harapan paling mulia yang pernah mereka mimpikan. Mereka juga kehilangan salah
seorang pahlawan besar nan agung; Abdurrahman al-Ghafiqi, dan tragedi perang
Uhud terulang kembali dalam perang Bilath asy-Syhuhada. Seperti itulah
sunnatulah terjadi atas diri hamba-Nya, dan engkau takkan menemukan adanya
perubahan dalam sunnatullah.
Kekalahan yang diderita dalam perang Bilath asy-Syhuhada adalah
tragedi mengejutkan mengguncang jiwa kaum Muslimin di setiap tempat. Kekalahan
itu juga menimbulkan kesedihan dalam diri mereka yang tinggal di kota, desa dan
setiap rumah. Hingga hari ini, luka perih itu masih meninggalkan kepedihan dan
tetesan darah yang mengalir dari hati mereka, dan luka itu akan terus
meneteskan darah selama masih ada Muslim di muka bumi. Anda juga jangan mengira
bahwa luka yang dalam itu hanya menyakitkan hati kaum Muslimin saja. Karena
sekelompok orang-orang Prancis yang berakal juga merasakan kesedihan atas
kekalahan itu.
Mereka melihat bahwa kemenangan yang diraih nenek moyang mereka atas kaum
Muslimin dalam perang Bilath asy-Syuhada adalah musibah dan kerugian
terbesar yang menimpa kemanusiaan dan benua Eropa sekaligus, serta bencana tak
terhingga yang menimpa peradaban manusia.
Hal ini dapat kita ketahui melalui persaksian oleh seorang dari mereka atas
hasil akhir perang Bilath asy-Syuhada, sebagaimana diucapkan oleh Henry
De Syambun, Direktur Majalah Revi Parlementer:
"Andai bukan karena kemenangan Syarel Martel yang biadab itu atas
pasukan Arab Muslim di Prancis, niscaya negeri kita takkan pernah mengalami
masa kegelapan di abad pertengahan[12], juga takkan merasakan dampaknya
yang mengerikan berupa penyembelihan warga sipil karena motivasi fanatisme
ideologi dan aliran. Ya, andai bukan karena kemenangan dramatis yang mengerikan
atas kaum Muslimin itu, niscaya Spanyol akan diliputi toleransi Islam, dan akan
selamat dari diskriminasi Pengadilan Inspeksi[13]. Dan perjalanan peradaban mereka
takkan terlambat selama delapan abad.
Walau terjadi banyak perbedaan pendapat dan suasana jiwa yeng berbeda-beda mengenai kemenangan yang
kami raih itu, tapi kami tetap berhutang budi terhadap kaum Muslimin pada
kemajuan peradaban kita dalam bidang pengetahuan, seni, dan industri. Tetap
mengakui bahwa mereka adalah contoh kesempurnaan sebagai manusia. Sementara
pada waktu yang sama kita adalah contoh kekejaman dan kebuasan, sambil
mengklaim bahwa apa yang kita raih hari ini berasal dari perputaran waktu yang
terus berjalan, dan apa yang dialami kaum Muslimin sama dengan apa yang kita
rasakan dahulu pada abad pertengahan.[14]
[1] )
Negara-negara Balkan adalah serupa dengan pulau yang terletak di bagian Selatan
Timur Eropa. Terdiri dari beberapa negara: Albania, Yughoslavia, Bulgaria, Turki dan
Yunani.
لتفتحن
عليكم القسطنطينية ، فنعم الجيش جيشها ، ونعم الأميرُ أميرها
"Niscaya akan
dibuka untuk kalian Konstantinia, sebaik-baik pemimpin pasukan adalah
pemimpinnya, dan sebaik-baik gubernur adalah gubernurnya".
[4] )
Rhone adalah sungai yang mengalir di Swiss dan Prancis. Panjang 812 km. Sungai
paling deras yang mengalir di Prancis, Lion, Valnes, Apinion, Arles dan
mengalir di bagian tengah Marseille.
[10] )
Kota yang terletak di Selatan bagian Timur Prancis, tempat bertemunya kota
Rhone dan Seon. Kota ini adalah ibukota kabupaten.
[12] )
Abad Pertengahan disebut juga abad kegelapan di benua Eropa yang terjadi pada
tahun 476 hingga 1500 Masehi.
[13] )
Pengadilan Inspeksi yang dibentuk oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella
terhadap kaum Muslimin di Andalus, dimana keduanya telah melakukan kejahatan
kemanusiaan terbesar yang mengotori sejarah peradaban manusia.
1- Ibnu Atsir: 5/64
2- Ghazawaat al-'Arab: 87-102
3- al-Bayaan al-Maghrib: 2/26-28
4- Nafhu ath-Thayyib: 1/480
5- Jamharah al-Ansaab: 309
6- Ulamaa al-Andalus. Ibnu al-Fardhi: 214
7- Jadzwah al-Muqtabis: 253-255